Praktisi Hukum: Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK Catat Formil



  • JAKARTA, (MKNews) - Praktisi hukum Kamaruddin Simanjuntak, SH menilai Revisi UU RI No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) catat formil lantaran banyak sejumlah ketentuan yang bertentangan dengan keinginan rakyat dan berseberangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

"Saya melihat Revisi UU KPK itu justru berlawanan dengan semangat pemberantasan korupsi," ujar Kamaruddin, Senin (23/9/2019).

Kamaruddin mencermati ada sejumlah point terkait Revisi UU RI No 30 Tahun 2002 Tentang KPK yang pengesahannya telah disahkan DPR pada Selasa  17 September 2019 mengandung cacat formil.

Pengacara yang dikenal kitis membongkar kasus Hambalang itu melihat ada beberapa hal krusial terkait dengan Revisi KPK, yakni; Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK RI tidak termasuk Prolegnas 2019 dan/atau bukan skala prioritas Pemerintah RI.
Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK RI diduga menyalahi Pasal 5 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pada Bab II Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

Pria kelahiran Siborong-borong Sumatera Utara ini dengan tegas menolak Revisi KPK dengan alasan KPK RI & Lembaga Terkait Lainnya tidak tahu atas adanya Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK RI, sehingga tidak memenuhui asas Kejelasan tujuan dan Keterbukaan.

Alasan lainnya, Revisi KPK dinilainya tidak masuk dalam Program Legialasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas disebutnya merupakan instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang memuat skala prioritas Program Legislasi Jangka Menengah dan Tahunan yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI bersama Pemerintah/Eksekutif sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi.

"Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK RI, bertentangan dengan janji kampanye Jokowi. Presiden Jokowi telah ingkar janji," terangnya.
Kamaruddin juga menilai pengesahan Revisi UU KPK diduga tidak kuorum pada saat Paripurna. Kuorum adalah jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam Rapat, Dewan, Majelis, dsb. (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu hal tertentu.
"Karena berdasarkan informasi yang beredar,  anggota dewan dan Fraksi yang hadir hanya 102 orang pada hitungan manual di Paripurna DPR RI. Mestinya tidak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 232 UU MD3," kilahnya.

Dijelaskan, secara substansial Revisi UU RI Nomor 30 tahun 2002 tentang  KPK RI sangat melemahkan KPK RI, sedangkan prioritas pemerintah dan rakyat adalah menguatkan lembaga KPK RI dalam pemberantasan korupsi.
Tentang keberadaan Dewan Pengawas Penyadapan Kamaruddin menganggap hal itu justru akan mempersulit kinerja KPK RI, karena keberadaan Dewan Pengawas justru membutuhkan birokrasi yang sangat lama & panjang serta  berbelit-belit guna mendapatkan Izin penyadapan.
"Sebab permohonan dan izin harus tertulis disertai alasan yang disetujui oleh pengawas tentunya, sehingga target koruptor keburu lari dari TKP atau obyek penyidikan, sementara izin belum didapat oleh penyidik dari Dewan Pengawas karena masih berproses sesuai birokrasi," ujarnya.

Sekadar catatan, Dewan Pengawas KPK terdiri dari lima orang yang dipilih dan ditunjuk langsung oleh Presiden RI. Dewan Pengawas diatur dalam Pasal 37 A hingga 37 G, adapun kewenangan Dewan Pengawas KPK RI antara lain untuk memberi izin penyadapan kepada Penyidik KPK RI.
"Artinya, karena Dewan Pengawas dipilih dan ditunjuk langsung oleh Presiden RI dan/atau eksekutif, maka akan tidak memungkinkan bagi penyidik untuk mendapatkan izin penyadapan saat yang akan disadap teman se-partai atau se-koalisi Presiden," jelas Kamaruddin.

Dengan kata lain, pria pemilik kumis tebal ini melihat keberadaan Dewan Pengawas, telah merubah KPK RI dari lembaga independen dan mandiri menjadi lembaga tidak mandiri akibat diawasi oleh Dewan Pengawas bentukan Presiden RI.
"Izin  penyadapan akan memperlambat gerak cepat penyidik KPK RI untuk memburu target koruptor," kilahnya.

Hal lain tak kalah menarik, Kamaruddin menyebut, adanya wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3), akan membuat kinerja penyidik KPK RI menjadi tidak profesional. "Pengeluaran 'SP-3' akan jadi transaksional, seperti halnya yang terjadi selama ini di Lemabaga Kepolisian RI dan Kejaksaan RI," sebutnya.

Kamaruddin juga memprotes keras terkait Pasal 24 hasil revisi UU KPK RI, dimana pegawai KPK harus tunduk dan patuh terhadap UU RI tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). "Ini jelas berpotensi bahwa pegwai KPK RI akan diintervensi, apalagi jika tengah mengusut kasus korupsi di lembaga eksekutif dan partai pendukung atau koalisinya," ujarnya.

Di balik itu semua, hal lain yang juga tak kalah menarik bagi Kamaruddin adalah revisi UU KPK RI, adanya ketentuan wajib sehat jasmani dan rohani yang tertuang dalam Pasal 45A ayat 1. "Pasal ini artinya memasung Novel Baswedan yang sudah tidak sehat lagi karena diduga wajah dan matanya telah dirusak dengan cara disiram air keras oleh pecinta korupsi. Dengan adanya pasal ini Novel Baswedan wajib keluar dari penyidik KPK. Novel jadi sasaran karena dikenal tangguh menangkapi koruptor," katanya.

Untuk itu, Kamaruddin menawarkan solusi terkait Revisi UU KPK Ini melalui uji Materil ke Mahkamah Konstitusi. "Tujuan Uji Materil kepada Mahkamah Konstitusi adalah  untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, utamanya tentang pemberantasan korupsi," tutupnya. (gza)
Next Post Previous Post